Memiliki rupa yang cantik tidak
selamanya menguntungkan. Memang banyak lelaki yang tertarik, atau mungkin hanya
sekedar melirik. Ada kalanya wajah menentukan dalam mendapatkan posisi di suatu
pekerjaan. Atau bahkan wajah dapat dikomersiilkan pula.
Tapi aku tidak pernah
mengharapkan wajah yang cantik seperti yang kumiliki saat ini. Aku juga tidak
pernah menghendaki tinggi badan 163 centimeter dengan berat 52 kilogram. Tidak
juga kulit putih merona dengan dada ukuran 36B. Tidak! Sungguh, semua itu
justru membawa bencana bagiku.
Bagaimana tidak bencana. Karena
postur tubuh dan wajah yang bisa dinilai delapan, aku beberapa kali mengalami
percobaan pemerkosaan. Paling awal ketika aku masih duduk di bangku esempe
kelas tiga. Aku hampir saja diperkosa oleh salah seorang murid laki-laki di
toilet. Murid laki-laki yang ternyata seorang alkoholik itu kemudian
dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Tapi akupun akhirnya pindah
sekolah karena masih trauma.
Di sekolah yang baru pun aku tak
bisa tenang karena salah seorang satpamnya sering menjahilin aku. Kadang
menggoda-goda, bahkan pernah sampai menyingkap rokku ke atas dari belakang.
Sampai pada puncaknya, aku digiring ke gudang sekolah dengan alasan dipanggil
oleh salah seorang guru. Untung saja waktu itu seorang temanku tahu gelagat tak
beres yang tampak dari si Satpam brengsek itu. Ia dan beberapa teman lain
segera memanggil guru-guru ketika aku sudah mulai terpojok. Aku selamat dan
satpam itu meringkuk sebulan di sel pengap.
Dua kali menjadi korban percobaan
pemerkosaan, orang tuaku segera mengadakan upacara ruwatan. Walaupun papa
mamaku bukan orang Jawa tulen (Tionghoa), tapi mereka percaya bahwa upacara
ruwatan bisa menolak bahaya.
Selama dua tahun aku baik-baik
saja. Tak ada lagi kejadian percobaan pemerkosaan atas diriku. Hanya kalau
colak-colek sih memang masih sering terjadi, tapi selama masih sopan tak
apalah. Tapi ketika aku duduk di bangku kelas tiga esemu. Kejadian itu terulang
lagi. Teman sekelasku mengajakku berdugem ria ke diskotik. Aku pikir tak apalah
sekali-kali, biar nggak kuper. Ini kan Jakarta, pikirku saat itu. Aku memang
tak ikut minum-minum yang berbau alkohol, tapi aku tak tahu kalau jus jeruk
yang aku pesan telah dimasuki obat tidur oleh temanku itu. Waktu dia menyeretku
ke mobilnya aku masih sedikit ingat. Waktu dia memaksa menciumku aku juga masih
ingat. Lalu dengan segala kekuatan yang tersisa aku berusaha berontak dan
menjerit-jerit minta tolong. Aku kembali beruntung karena suara teriakanku
terdengar oleh security diskotik yang kemudian datang menolongku.
Sejak itu aku merasa tak betah
tinggal di Jakarta. Akhirnya aku segera dipindahkan ke Yogyakarta, tinggal
bersama keluarga tanteku sambil terus melanjutkan sekolah. Awalnya ketenangan
mulai mendatangiku. Hidupku berjalan secara wajar lurus teratur. Tanpa ada
gangguan yang berarti, apalagi gangguan kejiwaan tentang trauma perkosaan. Aku
sibuk sekolah dan juga ikutan les privat bahasa Inggris
Tapi memasuki bulan kelima
peristiwa itu benar-benar terjadi. Aku benar-benar diperkosa. Dan yang lebih
kelewat batas. Bukannya lelaki yang memperkosaku, tapi wanita. Yah, aku
diperkosa lesbian!! Dan lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah guru
privatku sendiri. Namanya Jude Kofl. Umurnya 25 tahun, tujuh tahun diatasku. Ia
orang Wales yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia. Jadi Jude, begitu aku
memanggilnya, cukup fasih berbahasa Indonesia. Jude tinggal tak sampai satu
kilometer dari tempatku tinggal. Aku cukup berjalan kaki jika ingin ke rumah
kontrakannya.
Kejadian itu bermula pada saat
aku datang untuk les privat ke tempat Jude. Kadangkala aku memang datang ke
tempat Jude kalau aku bosan belajar di rumahku sendiri, itupun kami lakukan
dengan janjian dulu. Sebelum kejadian itu aku tidak pernah berpikiran
macam-macam ataupun curiga kepada Jude. Sama sekali tidak! Memang pernah aku
menangkap basah Jude yang memandangi dadaku lekat-lekat, pernah juga dia
menepuk pantatku. Tapi aku kira itu hanya sekedar iseng saja.
Siang itu aku pergi ke tempat
Jude. Ditengah jalan tiba-tiba hujan menyerang bumi. Aku yang tak bawa payung
berlari-lari menembus hujan. Deras sekali hujan itu sampai-sampai aku
benar-benar basah kuyup. Sampai di rumah Jude dia sudah menyongsong
kedatanganku. Heran aku karena Jude masih mengenakan daster tipis tak bermotif
alias polos. Sehingga apa yang tersimpan di balik daster itu terlihat cukup
membayang. Lebih heran lagi karena Jude menyongsongku sampai ikut
berhujan-hujan.
“Aduh Mel, kehujanan yah? Sampai
basah begini..” sambutnya dengan dialek Britishnya.
“Jude, kenapa kamu juga
ikut-ikutan hujan-hujanan sih, jadi sama-sama basah kan.”
“Nggak apa-apa nanti saya temani
you sama-sama mengeringkan badan.”
Kami masuk lewat pintu garasi.
Jude mengunci pintu garasi, aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Bahkan
ketika aku diajaknya ke kamar mandinya, aku juga tak punya rasa curiga. Kamar
mandi itu cukup luas dengan perabotan yang mahal, walau tak semahal milik
tanteku. Di depanku nampak cermin lebar dan besar sehingga tubuh setiap orang
yang bercermin kelihatan utuh.
“Ini handuknya, buka saja pakaian
you. Aku ambilkan baju kering, nanti you masuk angin.”Jude keluar untuk
mengambil baju kering. Aku segera melepas semua pakaianku, kecuali CD dan BH
lalu memasukkannya ke tempat pakaian kotor di sudut ruangan.
“Ini pakaiannya,”Aku terperanjat.
Jude menyerahkan baju kering itu tapi tubuh Jude sama sekali tak memakai
selembar kain pun. Aku tak berani menutup muka karena takut Jude tersinggung.
Tapi aku juga tak berani menatap payudara Jude yang besar banget. Kira-kira
sebesar semangka dan nampak ranum banget, tanda ingin segera dipetik. Berani
taruhan, milik Jude nggak kalah sama milik si superstar Pamela Anderson.
“Lho kenapa tidak you lepas
semuanya?” tanya Jude tanpa peduli akan rasa heranku.
“Jude, kenapa kamu nggak pakai
baju kayak gitu sih?”Jude hanya tersenyum nakal sambil sekali-sekali memandang
ke arah dadaku yang terpantul di cermin. Kemudian Jude melangkah ke arahku. Aku
jadi was-was, tapi aku takut. Aku kembali teringat pada peristiwa percobaan
pemerkosaanku.
Jude berdiri tegak di belakangku
dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. Jemarinya yang lentik mulai
meraba-raba mengerayangi pundakku.
“Jude! Apa-apaan sih, geli tahu!”
Aku menepis tangannya yang mulai
menjalar ke depan. Tapi secepat kilat Jude menempelkan pistol di leherku. Aku
kaget banget, tak percaya Jude akan melakukan itu kepadaku.
“Jude, jangan main-main!” aku
mulai terisak ketakutan.
“It’s gun, Mel and I tak sedang
main-main. Aku ingin you nurut saja sama aku punya mau.” Ujar Jade
mendesis-desis di telinga Jade.
“Maumu apa Jude?”
“Aku mau sama ini.. ini juga
ha..ha..”
“Auh..”
Seketika aku menjerit ketika Jude
menyambar payudaraku kemudian meremas kemaluanku dengan kanan kirinya. Tahulah
aku kalau sebenarnya Jude itu sakit, pikirannya nggak waras khususnya jiwa
sex-nya. Buah dadaku masih terasa sakit karena disambar jemari Jude. Aku harus
berusaha menenangkan Jude.
“Jude ingat dong, aku ini
Melinda. Please, lepaskan aku..”
“Oh.. baby, aku bergairah sekali
sama you.. oh.. ikut saja mau aku, yah..”
Jude mendesah-desah sambil
menggosok-gosokkan kewanitaannya di pantatku. Sedangkan buah dadanya sudah
sejak tadi menempel hangat di punggungku. Matanya menyipit menahan gelegak
birahinya.
“Jude, jangan dong, jangan aku..”
Muka Jude merah padam, matanya
seketika terbelalak marah. Nampaknya ia mulai tersinggung atas penolakanku.
Ujung pistol itu makin melekat di dekat urat-urat leherku.
“You can choose, play with me
or.. you dead!”
Aah.. Dadaku serasa sesak. Aku
tak bisa bernafas, apalagi berfikir tenang. Tak kusangka ternyata Jude orang
yang berbahaya.
“Okey, okey Jude, do what do you
want. Tapi tolong, jangan sakiti aku please..” rintihku membuat Jude tertawa
penuh kemenangan.
Wajah wanita yang sebenarnya
mirip dengan Victoria Beckham itu semakin nampak cantik ketika kulit pipinya
merah merona. Jude meletakkan pistolnya di atas meja. Kemudian dia mulai
menggerayangiku.
Jude mulai mencumbui pundakku.
Merinding tubuhku ketika merasakan nafasnya menyembur hangat di sekitar
leherku, apalagi tangannya menjalar mengusap-usap perutku. Udara dingin karena
CD dan BHku yang basah membuatku semakin merinding.
Jemari Jade yang semula merambat
di sekitar perut kini naik dan semakin naik. Dia singkapkan begitu saja BHku
hingga kedua bukit kembarku itu lolos begitu saja dari kain tipis itu. Setiap
sentuhan Jade tanpa sadar aku resapi, jiwaku goyah ketika jari-jari haus itu
mengusap-usap dengan lembut. Aku tak tahu kalau saat itu Jade tersenyum menang
ketika melihatku menikmati setiap sentuhannya dengan mata tertutup.
“Ah.. ehg.. gimana baby sweety,
asyik?” kata Jude sambil meremas-remas kedua buah dadaku.
“Engh..” hanya itu yang bisa aku
jawab. Deburan birahiku mulai terpancing.
“Engh..” aku mendongak-dongak
ketika kedua puting susuku diplintir oleh Jude
“Juude..ohh..”
Aku tak tahan lagi kakiku yang
sejak tadi lemas kini tak bisa menyangga tubuhku. Akupun terjatuh ke lantai
kamar mandi yang dingin. Jude langsung saja menubrukku setelah sebelumnya
melucuti BH dan CDku. Kini kami sama-sama telah telanjang bagai bayi yang baru
lahir.
“You cantik banget Mel, ehgh..”
Jude melumat bibirku dengan binal.
“Balaslah Mel, hisaplah bibirku.”
Aku balas menghisapnya, balas
menggigit-gigit kecil bibir Jude. Terasa enak dan berbau wangi. Jude menuntun
tanganku agar menyentuh buah dadanya yang verry verry montok. Dengan sedikit
gemetar aku memegang buah dadanya lalu meremas-remasnya.
“Ah.. ugh.. Mel, oh..”
Jude mendesis merasakan
kenikmatan remasan tanganku. Begitupun aku, meletup-letup gairahku ketika Jude
kembali meremas dan memelintir kedua bukit kembarku.
“Teruslah Mel, terus ..”
Lalu Jude melepaskan ciumannya
dari bibirku.
“Agh.. Oh.. Juude..”
Aku terpekik ketika ternyata Jude
mengalihkan cumbuannya pada buah dadaku secara bergantian. Buah dadaku rasanya
mau meledak.
“Ehg.. No!!” teriakku ketika
jemari Jude menelusuri daerah kewanitaanku yang berbulu lebat.
“Come on Girl, enjoy this game.
Ini masih pemanasan honey..”
Pemanasan dia bilang? Lendir
vaginaku sudah mengucur deras dia bilang masih pemanasan. Rasanya sudah capek,
tapi aku tak berani menolak. Aku hanya bisa pasrah menjadi pemuas nafsu sakit
Jude. Walau aku akui kalau game ini melambungkan jiwaku ke awang-awang.
Jude merebahkan diri sambil
merenggangkan kedua pahanya. Bukit kemaluannya nampak jelas di pangkal paha.
Plontos licin. Lalu Jude memintaku untuk mencumbui vaginanya. Mulanya aku
jijik, tapi karena Jude mendorong kepalaku masuk ke selakangannya akupun segera
menciumi kewanitaan Jude. Aroma wangi menyebar di sekitar goa itu. Lama
kelamaan aku menciuminya penuh nafsu, bahkan makin lama aku makin berani
menjilatinya. Juga mempermainkan klitnya yang mungil dan mengemaskan.
“Ahh.. uegh..” teriak Jude
sedikit mengejan.Lalu beberapa kali goa itu menyemburkan lendir berbau harum.
“Mel, hisap Mel.. please..”
rengek Jude.
Sroop.. tandas sudah aku hisap
lendir asin itu.Suur.. kini ganti vaginaku yang kembali menyemburkan lendir
kawin.
“Jude aku keluar..” ujarku kepada
Jude.
“Oya?” Jude segera mendorongku
merebah di lantai. Lalu kepalanya segela menyusup ke sela-sela selakanganku.
Gadis bule itu menjilati
lendir-lendir yang berserakan di berbagai belantara yang tumbuh di goa milikku.
Aku bergelinjangan menahan segala keindahan yang ada. Jude pandai sekali
memainkan lidahnya. Menyusuri dinding-dinding vaginaku yang masih perawan.
“Aaah..” kugigit bibirku kuat
kuat ketika Jude menghisap klit-ku, lendir kawinkupun kembali menyembur dan
dengan penuh nafsu Jude menghisapinya kembali.
“Mmm.. delicious taste.”
Gumamnya.
Jude segera memasukkan batang
dildo yang aku tak tahu dari mana asalnya ke dalam lubang kawinku.
“Ahh..!! Jude sakit..”
“Tahan sweety.. nanti juga
enak..”
Jude terus saja memaksakan dildo
itu masuk ke vaginaku. Walaupun perih sekali akhirnya dildo itu terbenam juga
ke dalam vaginaku. Jude menggoyang-goyangkan batang dildo itu seirama. Antara
perih dan nikmat yang aku rasakan. Jude semakin keras mengocok-ngocok batang
dildo itu. Tiba-tiba tubuhku mengejang, nafasku bagai hilang. Dan sekali lagi
lendir vaginaku keluar tapi kali ini disertai dengan darah. Setelah itu tubuhku
pun melemas.
Air mataku meleleh, aku yakin
perawanku telah hilang. Aku sudah tak pedulikan lagi sekelilingku. Sayup-sayup
masih kudengar suara erangan Jude yang masih memuaskan dirinya sendiri. Aku
sudah lelah, lelah lahir batin. Hingga akhirnya yang kutemui hanya ruang gelap.
Esoknya aku terbangun diatas
rajang besi yang asing bagiku. Disampingku selembar surat tergeletak dan
beberapa lembar seratus ribuan. Ternyata Jude meninggalkannya sebelum pergi.
Dia tulis dalam suratnya permintaan maafnya atas kejadian kemarin sore. Dan dia
tulis juga bahwa dia takkan pernah kembali untuk menggangguku lagi. Aku pergi
dari rumah kontrakan terkutuk itu seraya bertekad akan memendam petaka itu
sendiri
0 Response to "aku diperkosa oleh guru privatku sendiri"
Posting Komentar