Sebenarnya saya malu untuk
menuliskan cerita ini, tetapi karena sudah banyak yang menggunakan media ini
untuk menuliskan cerita-cerita tentang seks walaupun saya sendiri tidak yakin
apakah itu semuanya fakta atau fiksi belaka. Memang cerita yang saya tulis ini
cukup memalukan tetapi di samping itu ada kejadian yang lucu dan memang sama
sekali belum pernah saya alami.
Awal mula dari cerita ini adalah
ketika saya baru saja tinggal di sebuah daerah perumahan yang relatif baru di
daerah pinggiran kota-maaf, nama daerah tersebut tidak saya sebutkan mengingat
untuk menjaga nama baik dan harga diri keluarga terutama suami dan kedua anak
saya. Saya tinggal di situ baru sekitar 6 bulanan.
Karena daerah perumahan tersebut
masih baru maka jumlah keluarga yang menempati rumah di situ masih relatif
sedikit tetapi khusus untuk blok daerah rumah saya sudah lumayan banyak dan
ramai. Rata-rata keluarga kecil seperti keluarga saya juga yaitu yang sudah
masuk generasi Keluarga Berencana, rata-rata hanya mempunyai dua anak tetapi
ada juga yang hanya satu anak saja.
cinta terlarang dengan ibuku sendiri |
Sudah seperti biasanya bila kita
menempati daerah perumahan baru, saya dengan sengaja berusaha untuk banyak
bergaul dengan para tetangga bahkan juga dengan tetangga-tetangga di blok yang
lain. Dari hasil bergaul tersebut timbul kesepakatan di antara ibu-ibu di blok
daerah rumahku untuk mengadakan arisan sekali dalam sebulan dan diadakan
bergiliran di setiap rumah pesertanya.
Suatu ketika sedang berlangsung
acara arisan tersebut di sebuah rumah yang berada di deretan depan rumahku,
pemilik rumah tersebut biasa dipanggil Bu Soni (bukan nama sebenarnya) dan
sudah lebih dulu satu tahun tinggal di daerah perumahan ini daripada saya. Bu
Soni bisa dibilang ramah, banyak ngomongnya dan senang bercanda dan sampai saat
tulisan ini aku buat dia baru mempunyai satu anak, perempuan, berusia 8 tahun
walaupun usia rumah tangganya sudah 10 tahun sedangkan aku sudah 30 tahun. Aku
menikah ketika masih berusia 22 tahun. Suaminya bekerja di sebuah perusahaan
swasta dan kehidupannya juga bisa dibilang kecukupan.
Setelah acara arisan selesai saya
masih tetap asyik ngobrol dengan Bu Soni karena tertarik dengan keramahan dan
banyak omongnya itu sekalipun ibu-ibu yang lain sudah pulang semua. Dia
kemudian bertanya tentang keluargaku, “Jeng Mar. Putra-putranya itu sudah umur
berapa, sih, kok sudah dewasa-dewasa, ya?” (Jeng Mar adalah nama panggilanku
tetapi bukan sebenarnya) tanya Bu Soni kepadaku.
“Kalau yang pertama 18 tahun dan
yang paling ragil itu 14 tahun. Cuma yaitu Bu, nakalnya wah, wah, waa.. Aah
benar-benar, deh. Saya, tuh, suka capek marahinnya.”
“Lho, ya, namanya juga anak
laki-laki. Ya, biasalah, Jeng.”
“Lebih nikmat situ, ya. Anak cuma
satu dan perempuan lagi. Nggak bengal.”
“Ah, siapa bilang Jeng Mar. Sama
kok. Cuma yaitu, saya dari dulu, ya, cuma satu saja. Sebetulnya saya ingin
punya satu lagi, deh. Ya, seperti situ.”
“Lho, mbok ya bilang saja sama
suaminya. ee.. siapa tahu ada rejeki, si putri tunggalnya itu bisa punya adik.
Situ juga sama suaminya kan masih sama-sama muda.”
“Ya, itulah Jeng. Papanya itu
lho, suka susah. Dulu, ya, waktu kami mau mulai berumah tangga sepakat untuk
punya dua saja. Ya, itung-itung mengikuti program pemerintah, toh, Jeng. Tapi
nggak tahu lah papanya tuh. Kayaknya sekarang malah tambah asik saja sama
kerjaannya. Terlalu sering capek.”
“O, itu toh. Ya, mbok diberi tahu
saja kalau sewaktu-waktu punya perhatian sama keluarga. ‘Kan yang namanya kerja
itu juga butuh istirahat. Mbok dirayu lah gitu.”
“Wah, sudah dari dulu Jeng. Tapi,
ya, tetap susah saja, tuh. Sebenernya ini, lho, Jeng Mar. Eh, maaf, ya, Jeng
kalo’ saya omongin. Tapi Jeng Mar tentunya juga tau dong masalah suami-istri
‘kan.”
“Ya, memang. Ya, orang-orang yang
sudah seperti kita ini masalahnya sudah macem-macem, toh, Bu. Sebenarnya Bu
Soni ini ada masalah apa, toh?”
“Ya, begini Jeng, suami saya itu
kalo’ bergaul sama saya suka cepet-cepet mau rampung saja, lho. Padahal yang
namanya istri seperti kita-kita ini ‘kan juga ingin membutuhkan kenikmatan yang
lebih lama, toh, Jeng.”
“O, itu, toh. Mungkin situ kurang
lama merayunya. Mungkin suaminya butuh variasi atau model yang agak
macem-macem, gitu.”
“Ya, seperti apa ya, Jeng. Dia
itu kalo’ lagi mau, yang langsung saja. Saya seringnya nggak dirangsang
apa-apa. Kalo’ Jeng Mar, gimana, toh? Eh, maaf lho, Jeng.”
“Kalo’ saya dan suami saya itu
saling rayu-merayu dulu. Kalo’ suami saya yang mulai duluan, ya, dia biasanya
ngajak bercanda dulu dan akhirnya menjurus yang ke porno-porno gitulah. Sama
seperti saya juga kalau misalnya saya yang mau duluan.””Terus apa cuma gitu
saja, Jeng.”
“O, ya tidak. Kalo’ saya yang
merayu, biasanya punya suami saya itu saya pegang-pegang. Ukurannya besar dan
panjang, lho. Terus untuk lebih menggairahkannya, ya, punyanya itu saya enyot
dengan mulut saya. Saya isep-isep.”
“ii.. Iih. Jeng Mar, ih. Apa
nggak jijik, tuh? Saya saja membayangkannya juga sudah geli. Hii..”
“Ya, dulu waktu pertama kali, ya,
jijik juga, sih. Tetapi suami saya itu selalu rajin, kok, membersihkan
gituannya, jadi ya lama-lama buat saya nikmat juga. Soalnya ukurannya itu, sih,
yang lumayan besar. Saya sendiri suka gampang terangsang kalo’ lagi ngeliat.
Mungkin situ juga kalo’ ngeliat, wah pasti kepengen, deh.”
“Ih, saya belon pernah, tuh,
Jeng. Lalu kalo’ suaminya duluan yang mulai begimana?”
“Saya ditelanjangi sampai polos
sama sekali. Dia paling suka merema-remas payudara saya dan juga menjilati
putingnya dan kadang lagaknya seperti bayi yang sedang mengenyot susu.”, kataku
sambil ketawa dan tampak Bu Soni juga tertawa.
“Habis itu badan saya dijilati
dan dia juga paling suka menjilati kepunyaan saya. Rasanya buat saya, ya,
nikmat juga dan biasanya saya semakin terangsang untuk begituan. Dia juga
pernah bilang sama saya kalo’ punya saya itu semakin nikmat dan saya disuruh
meliara baik-baik.”
“Ah, tapi untuk yang begituan itu
saya dan suami saya sama sekali belum pernah, lho, Jeng. Tapi mungkin ada
baiknya untuk dicoba juga, ya, Jeng. Tapi tadi itu masalah yang situ dijilatin
punyanya. Rasa enaknya seperti apa, sih, Jeng.”
“Wah, Bu Soni ini, kok, seperti
kurang pergaulan saja, toh.”
“Lho, terus terang Jeng. Memang
saya belon pernah, kok.”
“Ya, geli-geli begitulah. Susah
juga untuk dijelasin kalo’ belum pernah merasakan sendiri.” Lalu kami berdua
tertawa.
Setelah berhenti tertawa, aku
bertanya, “Bu Soni mau tau rasanya kalau gituannya dijilati?”
“Yah, nanti saya rayu, deh, suami
saya. Mungkin nikmat juga ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Apa perlu saya dulu yang coba?”,
tanyaku sambil bercanda dan tersenyum.
“Hush!! Jeng Mar ini ada-ada
saja, ah”, sambil tertawa.
“Ya, biar tidak kaget ketika
dengan suaminya nanti. Kita ‘kan juga sama-sama wanita.”
“Wah, kayak lesbian saja. Nanti
saya jadi ketagihan, lho. Malah takutnya lebih senang sama situ daripada sama
suami saya sendiri. Ih! Malu’ akh.”, sambil tertawa.
“Atau kalo’ nggak mau gitu, nanti
saya kasih tau gimana membuat penampilan bulu gituannya biar suaminya situ
tertarik. Kadang-kadang bentuk dan penataannya juga mempengaruhi rangsangan
suami, lho, Bu Soni.”
“Ah, Jeng ini.”
“Ee! Betul, lho. Mungkin bentuk
bulu-bulu gituannya Bu Soni penampilannya kurang merangsang. Kalo’ boleh saya
lihat sebentar gimana?”
“Wah, ya, gimana ya. Tapii.. ya
boleh, deh. Eh, tapi saya juga boleh liat donk punyanya situ. Sama-sama donk,
‘kan kata Jeng tadi kita ini sama-sama wanita.””Ya, ‘kan saya cuma mau bantu
situ supaya bisa usaha untuk punya anak lagi.””Kalo’ gitu kita ke kamar saja,
deh. Suami saya juga biasanya pulang malam. Yuk, Jeng.”
Langsung kita berdua ke kamar Bu
Soni. Kamarnya cukup tertata rapi, tempat tidurnya cukup besar dan dengan kasur
busa. Di dindingnya ada tergantung beberapa foto Bu Soni dan suaminya dan ada
juga foto sekeluarga dengan anaknya yang masih semata wayang. Saya kemudian ke
luar sebentar untuk telepon ke rumah kalau pulangnya agak telat karena ada
urusan dengan perkumpulan ibu-ibu dan kebetulan yang menerima suamiku sendiri
dan ternyata dia setuju saja.
Setelah kita berdua di kamar, Bu
Soni bertanya kepadaku, “Bagaimana Jeng? Kira-kira siap?”
“Ayolah. Apa sebaiknya kita
langsung telanjang bulat saja?”
“OK, deh.”, jawab Bu Soni dengan
agak tersenyum malu. Akhirnya kita berdua mulai melepas pakaian satu-persatu
dan akhirnya polos lah semua. Bulu kemaluan Bu Soni cukup lebat juga hanya
bentuknya keriting dan menyebar, tidak seperti miliku yang lurus dan tertata
dengan bentuk segitiga ke arah bawah. Lalu aku menyentuh payudaranya yang agak
bulat tetapi tidak terlalu besar, “Lumayan juga, lho, Bu.” Lalu Bu Soni pun
langsung memegang payudaraku juga sambil berkata, “Sama juga seperti punya
Jeng.” Aku pun minta ijin untuk mengulum kedua payudaranya dan dia langsung
menyanggupi.
Kujilati kedua putingnya yang
berwarna agak kecoklat-coklatan tetapi lumayan nikmat juga. Lalu kujilati
secara keseluruhan payudaranya. Bu Soni nampak terangsang dan napasnya mulai
memburu. “Enak juga, ya, Jeng. Boleh punya Jeng saya coba juga?””Silakan
saja.”, ijinku. Lalu Bu Soni pun melakukannya dan tampak sekali kalau dia masih
sangat kaku dalam soal seks, jilatan dan kulumannya masih terasa kaku dan
kurang begitu merangsang. Tetapi lumayanlah, dengan cara seperti ini aku secara
tidak langsung sudah menolong dia untuk bisa mendapatkan anak lagi.
Setelah selesai saling menjilati
payudara, kami berdua duduk-duduk di atas tempat tidur berkasur busa yang cukup
empuk. Aku kemudian memohon Bu Soni untuk melihat liang kewanitaannya lebih
jelas, “Bu Soni. Boleh nggak saya liat gituannya? Kok bulu-bulunya agak
keriting. Tidak seperti milik saya, lurus-lurus dan lembut.” Dengan agak malu
Bu Soni membolehkan, “Yaa.. silakan saja, deh, Jeng.” Aku menyuruh dia,
“Rebahin saja badannya terus tolong kangkangin kakinya yang lebar.” Begitu dia
lakukan semuanya terlihatlah daging kemaluannya yang memerah segar dengan
bibirnya yang sudah agak keluar dikelilingi oleh bulu yang cukup lebat dan
keriting. mm.. Cukup merangsang juga penampilannya.
Kudekatkan wajahku ke liang
kewanitaannya lalu kukatakan kepada Bu Soni bahwa bentuk kemaluannya sudah
cukup merangsang hanya saja akan lebih indah pemandangannya bila bulunya sering
disisir agar semakin lurus dan rapi seperti milikku. Lalu kusentuh-sentuh
daging kemaluannya dengan tanganku, empuk dan tampak cukup terpelihara baik,
bersih dan tidak ada bau apa-apa. Nampak dia agak kegelian ketika sentuhan
tanganku mendarat di permukaan alat kelaminnya dan dia mengeluh lirih, “Aduh,
geli, lho, Jeng.”
“Apa lagi kalo’ dijilat, Bu Soni.
Nikmat, deh. Boleh saya coba?”
“Aduh, gimana, ya, Jeng. Saya
masih jijik, sih.”
“Makanya dicoba.”, kataku sambil
kuelus salah satu pahanya.
“mm.. Ya, silakan, deh, Jeng.
Tapi saya tutup mata saja, ah.”
Lalu kucium bibir kemaluannya
sekali, chuph!! “aa.. Aah.”, Bu Soni mengerang dan agak mengangkat badannya.
Lalu kutanya, “Kenapa? Sakit, ya?” Dia menjawab, “Geli sekali.” “Saya teruskan,
ya?” Bu Soni pun hanya mengangguk sambil tersenyum. Kuciumi lagi bibir
kemaluannya berkali-kali dan rasa geli yang dia rasakan membuat kedua kakinya
bergerak-gerak tetapi kupegangi kedua pangkal pahanya erat-erat. Badannya
bergerinjal-gerinjal, pantatnya naik turun. Uh! Pemandangan yang lucu sekali,
aku pun sempat ketawa melihatnya. Saya keluarkan lidah dan saya sentuhkan
ujungnya ke bibir kemaluannya berkali-kali. Oh! Aku semakin terbawa napsu.
Kujilati keseluruhan permukaan memeknya, gerakanku semakin cepat dan ganas. Oh,
Bu Soni, memekmu nikmaa..aat sekali.
Aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Semua terkonsentrasi pada pekerjaan menjilati liang kewanitaan Bu Soni. Emm..,
Enak sekali. Terus kujilati dengan penuh napsu. Pinggir ke tengah dan gerakan
melingkar. Kumasukan lidahku ke dalam celah bibir kemaluannya yang sudah mulai
membuka. Ouw! Hangat sekali dan cairannya mulai keluar dan terasa agak asin dan
baunya yang khas mulai menyengat ke dalam lubang hidungku. Tapi aku tak peduli,
yang penting rasa kemaluan Bu Soni semakin lezat apalagi dibumbui dengan cairan
yang keluar semakin banyak. Kuoleskan ke seluruh permukaan kemaluannya dengan
lidahku. Jilatanku semakin licin dan seolah-olah semua makanan yang ku makan
pada saat acara arisan tadi rasanya tidak ada apa-apanya. Badan Bu Soni
bergerinjal semakin hebat begitu juga pantatnya naik-turun dengan drastis. Dia
mengerang lirih, “aa.. Ah, ee.. Eekh, ee.. Eekh, Jee.. Eeng, auw, oo.. Ooh.
Emm.. Mmh. Hah, hah, hah,.. Hah.” Dan saat mencapai klimaks dia merintih,
“aa.., aa.., aa.., aa.., aah”, Cairan kewanitaannya keluar agak banyak dan
deras. OK, nampaknya Bu Soni sudah mencapai titik puncaknya.
Tampak Bu Soni telentang lemas
dan aku tanya, “Bagaimana? Enak? Ada rasa puas?” “Lumayan nikmat, Jeng. Situ
nggak jijik, ya.”
“Kan sudah biasa juga sama
suami.” Kemudian aku bertanya sembari bercanda, “Situ mau coba punya saya
juga?”
“Ah, Jeng ini. Jijik ‘kan.”,
sembari ketawa.
“Yaa.. Mungkin belon dicoba.
Punya saya selalu bersih, kok. ‘Kan suami saya selalu mengingatkan saya untuk
memeliharanya.” Kemudian Bu Soni agak berpikir, mungkin ragu-ragu antara mau
atau tidak. Lalu, “Boleh, deh, Jeng. Tapi saya pelan-pelan saja, ah. Nggak
berani lama-lama.”
“Ya, ndak apa-apa. ‘Kan katanya
situ belum biasa. Betul? Mau coba?” tantangku sembari senyum. Lalu dia cuma
mengangguk. Kemudian aku menelentangkan badanku dan langsung kukangkangkan
kedua kakiku agar terlihat liang kewanitaanku yang masih indah bentuknya.
Tampak Bu Soni mulai mendekatkan wajahnya ke liang kewanitaanku lalu berkata,
“Wah, Jeng bulu-bulunya lurus, lemas dan teratur. Pantes suaminya selalu
bergairah.” Aku hanya tertawa.
Tak lama kemudian aku rasakan
sesuatu yang agak basah menyentuh kemaluanku. Kepalaku aku angkat dan terlihat
Bu Soni mulai berani menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke liang kewanitaanku.
Kuberi dia semangat, “Terus, terus, Bu. Saya merasa nikmat, kok”. Dia hanya
memandangku dan tersenyum. Kurebahkan lagi seluruh tubuhku dan kurasakan
semakin luas penampang lidah Bu Soni menjilati liang kewanitaan saya. Oh! Aku
mulai terangsang. Emm.. Mmh. Bu Soni sudah mulai berani. oo.. Ooh nikmat
sekali. Sedaa.. Aap. Terasa semakin lincah gerakan lidahnya, aku angkat
kepalaku dan kulihat Bu Soni sudah mulai tenggelam dalam kenikmatan, rupanya
rasa jijik sudah mulai sirna. Gerakan lidahnya masih terasa kaku, tetapi ini
sudah merupakan perkembangan. Syukurlah. Mudah-mudahan dia bisa bercumbu lebih
hebat dengan suaminya nanti.
Lama-kelamaan semakin nikmat. Aku
merintih nikmat, “Emm.. Mmh. Ouw. aa.. Aah, aa.. Aah. uu.. uuh. te.. te.. Rus
teruu..uus.” Bibir kemaluanku terasa dikulum oleh bibir mulut Bu Soni. Terasa
dia menciumi kemaluanku dengan bernafsu. Emm.. Mmh, enaknya. Untuk lebih nikmat
Bu Soni kusuruh, “Pegang dan elus-elus paha saya. Enak sekali Bu.” Dengan
spontan kedua tangannya langsung mengayunkan elusannya di pahaku. Dia mainkan
sampai pangkal paha. Bukan main! Sudah sama layaknya aku main dengan suamiku
sendiri. Terlihat Bu Soni sudah betul-betul asyik dan sibuk menjilati liang
kewanitaanku. Gerakan ke atas ke bawah melingkar ke seluruh liang kewanitaanku.
Seolah-olah dia sudah mulai terlatih.
Kemudian aku suruh dia untuk
menyisipkan lidahnya ke dalam liang kewanitaanku. Dahinya agak berkerut tetapi
dicobanya juga dengan menekan lidahnya ke lubang di antara bibir kemaluan saya.
“Aaa.. Aakh! Nikmat sekali. Aku mulai naik untuk mencapai klimaks. Kedua
tangannya terus mengelus kedua pahaku tanpa henti. Aku mulai naik dan terasa
lubang kemaluanku semakin hangat, mungkin lendir kemaluanku sudah banyak yang
keluar. Akhirnya aku pun mencapai klimaks dan aku merintih, “aa.. Aah, uuh”.
Sialan Bu Soni tampaknya masih asyik menjilati sedangkan badanku sudah mulai
lemas dan lelah. Bu Soni pun bertanya karena gerak kaki dan badanku berhenti,
“Gimana, Jeng?” Aku berkata lirih sambil senyum kepadanya, “Jempolan. Sekarang
Bu Soni sudah mulai pinter.” Dia hanya tersenyum.
Aku tanya kembali, “Bagaimana?
Situ masih jijik nggak?”
“Sedikit, kok.”, jawabnya sembari
tertawa, dan akupun ikut tertawa geli.
“Begitulah Bu Soni. Mudah-mudahan
bisa dilanjutkan lebih mesra lagi dengan suaminya, tetapi jangan bilang, lho,
dari saya.”
“oo.., ya, ndak, toh, Jeng. Saya
‘kan juga malu. Nanti semua orang tahu bagaimana?””Sekarang yang penting
berusaha agar putrinya bisa punya adik. Kasihan, lho, mungkin sejak dulu dia
mengharapkan seorang adik.”
“Ya, mudah-mudahan lah, Jeng.
Rejeki akan segera datang. Eh! Ngomong-ngomong, Jeng mau nggak kalo’
kapan-kapan kita bersama kayak tadi lagi?”
“Naa.., ya, sudah mulai
ketagihan, deh. Yaa, itu terserah situ saja. Tapi saya nggak tanggung jawab,
lho, kalo’ situ lantas bisa jadi lesbian juga. Saya ‘kan cuma kasih contoh
saja.”, jawabku sembari mengangkat bahu dan Bu Soni hanya tersenyum.
Kemudian aku cepat-cepat
berpakaian karena ingin segera sampai di rumah, khawatir suamiku curiga dan
berprasangka yang tidak-tidak. Waktu aku pamit, Bu Soni masih dalam keadaan
telanjang bulat berdiri di depan kaca menyisir rambut. Untung kejadian ini tak
pernah sampai terbuka sampai aku tulis cerita yang aneh dan lucu ini. Soal
bagaimana kemesraan Bu Soni dan suaminya selanjutnya, itu bukan urusan saya
tetapi yang penting kelezatan liang kewanitaan Bu Soni sudah pernah aku
rasakan.
0 Response to "cinta terlarang dengan ibuku sendiri"
Posting Komentar