Namaku Marie, usiaku 26 tahun dan
bekerja di salah satu bank swasta di Bekasi. Ketika bencana itu terjadi, usiaku
baru 24 tahun. Saat itu aku sedang menghabiskan weekend di sebuah villa di
kawasan Puncak. Aku memang hanya sendiri. Tiada tujuan lain selain
menghilangkan kepenatan di segarnya udara Puncak tanpa gangguan siapa pun.
Tragisnya kesendirianku itu justru menghilangkan satu-satunya harta yang paling
berharga bagiku, kegadisanku.
Ceritanya sore itu aku berendam
di air hangat. Kira-kira jarum jam menunjukkan pukul tujuh lima belas menit
petang hari. Udara dingin Puncak yang sejak tadi siang diguyur gerimis
membuatku enggan bangun dari bathub. Kubersihkan tubuhku dengan sabun cair
sampai pada kemaluanku yang masih bisa kubanggakan karena aku belum sekalipun
melakukan hubungan badan. Karena air bath tub sudah agak dingin kuputuskan untuk
mengakhiri acara mandiku.
rambutku yang basah. Kupandangi
tubuh telanjangku di cermin besar yang dapat memuat bayangan tubuhku secara
penuh itu. aku tersenyum sendiri memandang wajah indoku yang bersih dari
jerawat. Omaku memang asli Belanda. Lalu aku alihkan pandanganku pada dua buah
payudaraku yang bulat dan gempal. Ukurannya 36, dengan tinggi badan yang 173 cm
dan berat 54 kg. Aku usap-usap kedua payudaraku yang tegang kedinginan.
Pandanganku kemudian beralih pada satu-satunya bagian terpeka, kemaluanku yang
ditumbuhi bulu-bulu yang tak lebat. Jelas telihat bagian gemuk itu terbelah di
tengahnya. Ah.. inilah hartaku yang termahal, pikirku sambil membelainya.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu
dari depan. Aku tersentak kaget karena seharusnya tak ada orang lain di villa
ini. Seorang pemuda berbadan tegap segera menerobos masuk. Lalu ia segera
menyeretku keluar kamar mandi. Aku berusaha berontak tapi tenagaku tak cukup
untuk melawan tenaga pria itu.
“Hallo Nona manis, boleh kami
mampir sebentar?”, sapa pemuda lain yang telah menunggu di kamar tidur. “S..
siapa kalian? Pergi! Pergi dari sini!”, rontaku. Pemuda yang menyeretku tadi
telah memasung kedua tanganku di kedua tiang penyangga atap. Posisiku terpasung
tapi kakiku masih bebas tak terikat. “Tenang, Nona manis. Namaku adalah Leo”,
kata pemuda yang mengikatku. Wajahnya bersih dan tampan, nampak seperti anak
orang kaya.
“Dan aku Syam. Kami hanya mampir
untuk bersenang-senang Nona”, lanjut pemuda jangkung yang tadi menyeretku.
Tubuhnya lebih kurus daripada Leo tapi wajahnya juga sedap dipandang, walaupun
terkesan agak beringas. “Ma.. mau apa kalian? Tidak sopan!”, bentakku. “Ha..
galak juga, Leo. Heh perawan! Siapa namamu?”, bentak Syam mencengkeram rahangku
hingga terasa sakit. “Sabar Syam, tanya baik-baik. Nona manis, siapa nama dari
tubuh aduhai ini?”, kata Leo mengelus-elus pinggangku. Syam melepaskan
cengkeramannya. Rahangku terasa sangat ngilu. “M.. Marie. Tolong kalian segera
keluar dari villa ini, aku mohon”, rengekku. “Enak saja! Kami sudah masuk, mana
mungkin keluar tanpa membawa hasil”, jawab Syam yang lebih cepat marah. Leo
menepuk bahu Syam. Syam mundur beberapa langkah. “Marie.. kami mampir khusus
untuk menikmati kecantikanmu. Lihatlah, kau memiliki tubuh yang sangat sensual.
Juga wajah yang cantik, sayang kalau tidak dinikmati. Syam! Lihatlah bibir nona
Marie ini, bukankah sangat sexy?”, kata si Leo sambil segera menyerang bibirku.
Syam hanya tersenyum membiarkan
Leo memagut bibirku dengan rakus. Tercium bau alkohol dari mulutnya. Aku ingin
meronta tapi mulutku telah dijejali dengan lidah Leo. Kakiku menendang-nendang
tapi tenaga Leo lebih kuat. Tangan kanannya mencengkeram leherku mencegahku
menghindar dari pagutannya. Sedang telapak tangan kirinya digosok-gosokkan ke
permukaan kemaluanku dengan kasar. Lidahnya terus menjilat-jilat
menghisap-hisap lidahku dengan rakusnya. Darahku serasa naik antara rasa sakit
dan nikmat. Tapi aku masih waras, kutekuk kakiku sehingga mengenai
kejantanannya yang mulai tegang. Leo mengaduh kesakitan. Ia nampak misuh-misuh
dan ingin memukulku tapi Syam mencegahnya. Leo menunduk sambil memegangi
kejantanannya. Syam mendekatiku sambil membuka kaos yang pakainya. Nampak dada
bidangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
“Sabarlah sayang, akan terasa
indah bila kau mau menikmatinya”, kata Syam. Lalu lelaki jangkung itu mencium
bibirku dengan lembut menggigit bibir bawahku perlahan-lahan lalu menyodokkan
lidahnya menyusuri benda-benda yang bisa dijangkaunya. Ternyata Syam tidak
sekasar yang kukira. Kelembutannya mencumbu bibirku membuatku bagai
diperlakukan seperti seorang kekasih. Darahku mendesir-desir. Lidahku pun
menyambut lidah Syam yang meminta-minta. Tangan Syam menggerayangi punggungku
dan terus turun ke bawah lalu berlabuh di bokongku. Diremas-remasnya mengikuti
desah nafas Syam yang sudah mulai naik turun. Jemari tangan itu mengitari
bokongku. Jemarinya bermain di bibir vaginaku dengan lembut. Jiwaku rasanya mau
terbang. Aku mengharapkan sentuhan itu lebih lama. Tapi tidak, Syam segera
mengalihkan jemarinya kembali ke bokongku. Tanpa kusadari Syam menyuntikkan
sesuatu, aku tak tahu itu apa. Hanya belum sampai hitungan kesepuluh kepalaku
terasa berat. Mataku berkunang-kunang.
Terdengar tawa kedua pemuda itu
sayup-sayup. Rupaya mereka telah menyuntikkan semacam obat perangsang ke dalam
tubuhku. Tubuhku terasa kejang. Darahku naik ke ubun-ubun. Hawa dingin terasa
menjadi panas. Aku menggeliat-geliat menahan birahiku yang melaju tanpa rem.
Bibirku mendehem-dehem. Kemaluanku terasa hangat, payudaraku nampak bengkak
dengan sendirinya. Gelora birahiku melonjak-lonjak. Seperti ada kekuatan yang
mendorongku untuk segera bercinta dengan mereka, ingin agar mereka segera
menggerayangiku, mencumbuku, ohhh... Bajingan! Mereka hanya tertawa-tawa
melihatku bersimbah keringat, berkelojotan menahan birahiku. Apa mereka tak
tahu aku ingin segera mereka sentuh... “Syamm... Leo... kenapa kalian hanya
diam saja... kemarilah.. aku... ingin...” Tawa mereka semakin lebar. “Syam,
tadi dia menolak sekarang?! Ha...ha..” “Ayo Leo, bidadari kita ini sudah tak
sabar rupanya”
Samar-samar kulihat keduanya
membuka semua pakaian yang melekat di tubuh masing-masing. Nampak penis-penis
yang besar menegang menantang. Kemudian keduanya mengundi siapa dulu yang
menggarapku. Ternyata Syam. Ia mendekatiku dan kembali mencumbu bibirku,
tubuhnya menempel erat di tubuhku. Sehingga dadanya yang bidang menempel dengan
kedua payudaraku yang telah menegang. Tangannya meremas-remas bokongku yang
montok lalu membelai-belai selakangku yang telah tersendal-sendal oleh penisnya
yang mengacung-acung. Ohh.. bagai terbang ke awan. Kemudian iapun menurun dan
mendapati kedua payudaraku. Matanya berbinar-binar. Diciuminya dadaku hingga terasa
hangat nafasnya lalu dimasukkannya nipples-ku ke dalam mulutnya. Aku
mendesah-desah ketika nipples-ku dijilat-jilat lalu dihisap kuat-kuat oleh
lidah lincahnya. “Oah... auh.. Syamm...”
Leo yamg mulai tak sabar segera
melepaskan kedua ikatan tanganku. Lalu ia ikut bergabung dengan melumat bibirku
dari arah samping. Tanganku menjambak-jambak rambut Syam sambil meladeni Leo.
Kini gerakannya lebih lembut walau tak selembut Syam. Sepuluh menit kemudian
mereka melepaskan mulutnya dari tubuhku. Aku terkulai di lantai memandangi
kedua payudaraku yang terasa sangat berat membengkak, nampak beberapa bekas
gigitan Syam.
Samar-samar terlihat Leo berdiri
diatas tubuhku. Ia mengacung-acungkan penisnya yang besar menegang dan
memintaku untuk mengulumnya. Aku bangkit dari tidurku dan tak berapa lama penis
berkulit kecoklatan itu telah masuk ke dalam mulutku. Leo mengelus-elus
rambutku sambil terus menyodokkan penisnya ke dalam mulutku. Aku mengulumnya,
lidahku menyapu semua bagian benda panjang itu. Leo mengocok-ngocoknya berirama
hinga ujungnya menyemburkan cairan sperma. “Syam! Aku keluar Syam! Keluar...,
aarrghh...”, teriak Leo.
Aku ingin memuntahkannya tapi Leo
mencegahnyanya dengan terus menyodokkan penisnya. “Telan sayang, telan...”,
terdengar suara Syam yang telah meremas-remas kemaluanku yang terasa lengket
dari belakang. Perlahan-lahan Syam menuntunku untuk menungging. Kakiku bertumpu
pada lutut sedang tanganku berpegangan pada kedua paha Leo. Aku tak tahu apa
yang diperbuat Syam. Yang kurasakan hanya nikmatnya penis Leo. Tak kuduga
tiba-tiba terasa ada benda asing yang masuk ke dalam lubang vaginaku.
“Aaaah...”, teriakku tertahan.
Gigiku menggigit penis Leo
nenahan rasa nyeri di lubang kewanitaanku itu. Leo berjingkat-jingkat menahan
rasa sakit sambil misuh-misuh. Tapi Syam bagai tak peduli terus berusaha
menerobos tirai-tirai kewanitaanku. Hingga akhirnya jebol, darah mengucur
sampai pada pahaku. Aku menangis tersendat-sendat tapi Syam semakin asyik
memainkan penisnya di memekku. Memasukkannya beberapa senti lalu
mengeluarkannya, belum sampai keluar sudah disodokkannya lagi. Sperma muncrat
ke dalam lubang vaginaku. Dalam tangis jiwaku seakan melayang. Sejujurnya aku
sangat menikmatinya saat itu. Terasa sangat indah ketika Syam
menggoyang-goyangkan penisnya di dalam lubang vaginaku.
Sekitar pukul sepuluh malam.
Keringatku mengucur deras. Aku telentang di lantai. Di sampingku nampak Syam
yang juga terengah-engah. Tapi Leo ternyata belum puas. Dicumbunya kelaminku
dengan lidahnya. Licah menyusuri dinding-dinding vaginaku menghisap-hisap
klitorisku dengan gemas. Mataku berkejap-kejap menahan nikmat yang tercipta.
Selakangku mengatup mencengkeram kepala Leo agar tak pergi dari kemaluanku.
Sepuluh menit kemudian Leo memasukkan jari tengahnya dengan mudah ke dalam lubang
memekku. Untuk kedua kalinya pertahananku jebol. Cairan kewanitaanku muncrat
membasahi telunjuk Leo. Ditariknya jari tengah Leo yang bersarung di memekku.
Tanpa rasa jijik dijilatnya jari tengah yang berlumuran cairan kewanitaanku itu
dengan senyum kepuasan.
Terdengar suara orang ronda
diluar melintas di depan villa. Maka dengan tergesa-gesa Syam dan Leo
mengenakan pakaiannya lalu melompat dari jendela kamarku meninggalkanku dalam
keadaan sangat lemah. Aku berusaha menjerit memanggil-manggil penjaga ronda
keliling itu. Tapi suaraku bagai tersumbat. Belum sampai sepuluh hitungan
pandanganku telah gelap gulita.
0 Response to "kisah tragis di puncak"
Posting Komentar