Namaku Bernas dan aku tinggal di
Jakarta. Di saat aku menulis cerita ini, aku baru saja menginjak umur 25 tahun.
Aku bekerja di sebuah perusahaan marketing ternama di kawasan daerah Kuningan
(Jakarta Selatan). Perusahaan kami ini adalah anak dari perusahaan marketing
Inggris yang mana Head Office untuk Asia Pasific berada di negeri Singapore.
Aku bisa bekerja di perusahaan ini atas bantuan ibu tiriku yang memiliki banyak
kolega perusahaan-perusahaan ternama di Jakarta.
Ibu tiriku tergolong orang yang
terpandang dan kaya raya. Bekas suaminya adalah pengusaha distributor minyak
bumi dalam negeri yang punya akses mudah ke instansi-instansi pemerintah. Ibu
tiriku cerai dengan bekas suaminya karena bekas suaminya memiliki banyak
’selir-selir’ di beberapa kota di pulau Jawa dan beberapa lagi di luar pulau
Jawa. Karena tidak tahan dengan situasi yang dia hadapi, dia memutuskan untuk
bercerai dengan bekas suaminya.
Menurut cerita ibu tiriku, urusan
perceraiannya sangatlah rumit, berbelit-belit, dan memakan waktu
berbulan-bulan. Seperti biasa
aku digilir bergantian oleh ibuku dan teman-temannya |
pembagian harta gono-gini yang
membuat urusan cerai menjadi lebih panjang. Sampai pada akhirnya hasil dari
penceraian tersebut, ibu
tiriku mendapat 30% dari seluruh
aset dan kekayaan mantan suaminya. Namun setelah itu, ibu tiriku tidak
diperbolehkan lagi untuk meminta jatah lagi kekayaan bekas suaminya setelah
penceraiannya final di pengadilan.
Bisa para pembaca membayangkan
seberapa besar warisan kekayaan ibu tiriku. Bagaimana dengan keluarga asliku?
Ayah bercerai dengan ibu kandungku saat aku masih berumur 7 tahun. Masalah dari penceraian tersebut, aku
masih kurang tau sampai sekarang ini. Ayah lebih memilih untuk tidak menceritakan
masalah tersebut, dan aku pun tidak pernah lagi bertanya kepadanya. Aku
mengerti perasaan ayah, karena saat itu kehidupan ekonomi keluarga masih sangat
sulit dan ayah pada saat itu hanya seorang pegawai toko di daerah Mangga Besar.
Meskipun hanya pegawai toko biasa, ayah memiliki bakat dan hobi mekanik yang
berhubungan dengan mesin motor.
Pendidikan ayah hanya sampai pada
tamatan SD, dan dia mendapat ilmu montirnya dari kakek yang dulu sempat bekerja
di bengkel reparasi mobil. Ayah selalu memiliki cita-cita untuk membuka bengkel
sendiri. Setelah bercerai dengan ibu kandungku, aku dan ayah sering
berpindah-pindah rumah kontrak. Ekonomi ayah juga tidak juga membaik. Sering
istilah kehidupan kami bak ‘gali lubang tutup
lubang’. Setiap tahun gaji ayah
naik hanya sedikit saja, dan kebutuhan ekonomi selalu meningkat.
Namun ayah tidak pernah menyerah
untuk berusaha lebih demi menyekolahkan aku. Untungnya aku tergolong anak yang
suka sekolah dan belajar, oleh karenanya ayah tidak pernah mengenal lelah
mencari uang tambahan agar aku menjadi orang yang berilmu dan mencapai karir
indah di masa depanku. Cita-cita ayah membuka bengkel reparasi mobil sendiri
bermula dari keisengannya melamar
kerja di bengkel mobil dekat
rumah kontrakan kami. Ayah kerja di toko hanya selama 6 hari seminggu
bergantian, tapi ayah menetapkan untuk mengambil hari Sabtu libur agar dia bisa
bekerja di bengkel mobil tersebut. Karena bakat dan cinta ayah terhadap mesin
mobil dan motor, ayah menjadi tukang favorit di bengkel tersebut.
Perlahan-lahan ayah mengurangi
hari kerja ayah sebagai pegawai toko menjadi 5 hari seminggu, kemudian 4 hari
seminggu, dan terakhir 3 hari seminggu. Sampai pada akhirnya bengkel menarik
banyak pelanggan tetap, dan ayah diminta untuk bekerja sebagai pegawai tetap di
bengkel itu. Gaji ayah naik 3 kali lipat dari gaji sebagai pegawai toko plus
bonus dan tip-tip dari pelanggan. Lebih bagusnya lagi ayah hanya bekerja 5 hari
saja dari hari Senin sampai Jumat.
Ayah sengaja tidak memilih hari
Sabtu dan Minggu demi menghabiskan waktu berdua denganku. Setiap hari Sabtu
ayah suka menjemputku sepulang sekolah, maklum biasanya sekolahku hanya masuk
1/2 hari di hari Sabtu dan kami berdua suka jajan di luar
sebelum pulang ke rumah. Sejak
bekerja di bengkel itu, aku menjadi dekat dengan ayah. Dengan kondisi ekonomi
yang semakin membaik dari hari ke hari, kini ayah mampu untuk membeli rumah
sendiri meskipun tidak besar. Malaikat keberuntungan sedang berada disamping
ayah. Ayah orang yang baik, tekun dan jujur, maka dari itu ayah diberi banyak
rejeki dari yang di atas. Bengkel itu menjadi
tumbuh pesat pula berkat
kedatangan ayah.
Demi menjaga hubungan baik antara
ayah dengan bos bengkel itu, ayah diberi komisi 15% dari setiap pembayaran
service/reparasi mobil/
motor yang dia urus plus bonus
tahunan dan belum lagi tip-tip dari pelanggan. Nama bengkel menjadi terkenal
karena rekomendasi dari mulut ke mulut, sampai pada suatu hari ibu tiriku ini
menjadi pelanggan tetap bengkel itu. Ibu tiriku mendengar nama bengkel dan nama
ayahku dari teman dekatnya. Saat itu ibu tiriku memiliki 3 buah mobil.
Seingatku waktu mitu ada BMW, Mercedes, dan mobil kijang. Ibu
tiriku sering mengunjungi bengkel
ayah dengan alasan untuk check up antara mobil BMW-nya atau Mercedes-nya. Mobil
kijangnya hanya
datang dengan supir.
Sebut saja nama ibu tiriku adalah
Tina (nama singkatan). Saat itu aku memanggilnya tante Tina. Umur tante Tina 4
tahun lebih muda dari
ayah. Kerutinan tante Tina ke
bengkel menjadi awal dari romansa antara dia dan ayah. Ayah sering kencan
berdua dengan tante Tina, dan
terkadang mereka mengajakku pergi
bersama- sama pula. Terus terang sejak bersama tante Tina, wajah ayah lebih
tampak berseri-seri dan lebih segar. Mungkin saat itu dia menemukan cinta
keduanya setelah bertahun-tahun berpisah dengan ibu kandungku. Melihat
perubahaan positif ayah, aku pun menjadi ikut senang. Aku juga senang bila
tante Tina datang berkunjung, karena dia sering membawa oleh-oleh berupa
makanan atau minuman yang belum pernah aku liat sebelumnya. Belakangan aku baru
tau bahwa bingkisan itu adalah pemberian dari kolega bisnisnya.
Salah satu rumah Tante Tina
berada di daerah Jakarta Selatan, dan tentu banyak orang tau bahwa kawasan ini
adalah kawasan elit.
Setelah bercerai, tante Tina
membuka beberapa bisnis elit di sana seperti salon/spa kecantikan, dan butik.
Para pelanggannya juga dari kalangan kaliber atas seperti pejabat dan artis.
Dia menyewa beberapa prajurit terpecaya untuk menjalankan usaha-usaha
bisnisnya.
Dalam singkat cerita, ayah dan
tante Tina akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah aku disuruh
memanggilnya ‘mama’.
Perlu waktu beberapa minggu untuk
memanggilnya ‘mama’, tapi lama-lama aku menjadi biasa untuk memanggilnya
‘mama’.
Untuk lebih singkatnya dalam
cerita ini, aku akan menyebut ‘ibu tiriku’ sebagai ‘ibu’.
Sejak setelah menikah, ibu
tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru
mereka selesai. Lagi-lagi,
rumah baru mereka tidak jauh dari
bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah.
Setelah banyak
process yang dilakukan antara
ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan
ibu sepenuhnya. Ayah
pernah memohon kepada ibu agar
dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung
ibu putuskan untuk dibeli
saja. Maklum ibu adalah
‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya
cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan.
Kini bengkel ayah makin besar
setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan
yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik. Pelanggan ayah makin bertambah,
dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat
pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan
mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama. Kehidupan
dan gaya hidupku & ayah benar- benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering
melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri
dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karenaaku masih harus sekolah.
Ibu sering mengundang teman-teman
lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Ani. Tante Ani saat
itu hanya 15
tahun lebih tua dariku.
Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang
masih terlihat seperti orang
berumur 20 tahunan. Tanti Ani
adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik
ibu. Wajah tante Ani tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih.
Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main. Maklum anak
orang kaya yang suka tandang ke
salon kecantikan. Tante Ani sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau
gossip dengan ibu
berjam-jam. Tidak jarang tante
Ani keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau
ngafe di mall.
Aku pernah sempat bertanya
tentang kehidupan pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani itu bukanlah
janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Ani sempat ingin menikah, tapi
ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu.
Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda
untuk mengerti hal-hal seperti ini. Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi
cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya
melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan
pembantu saja yang tinggal di rumah.
Saat itu aku ingin sekali kabur
dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu
itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu
berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang
ketinggalan. Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Ani
menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton
acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa mama
ke Bandung?”tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas
malas, tante. Kaloke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante
ke Singapore.
Tante ada apartment di sana”
tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya
“Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja.
Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo
penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman
pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih.
Bernas mau ngga
temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan
apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante.
Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih
belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton bersebelahan
di sofa yang empuk. Sore itu tante Ani mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia
memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju
berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira- kira
antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Ani putih
mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria
di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih
mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel
seadanya saja sambil menunggu
sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante
Ani suka bertanya
tentang kehidupan sekolahku
sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah.
Aku mengatakan kepada tante Ani
bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA.
Kalo
naksir sih ada, cuma aku tidak
sampai mengganggap terlalu serius. Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh
tante Ani semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai
tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran
apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata,
“Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?”
tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake
cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu
aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan
kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas.
Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok
mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti
demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya,
aku menurut saja dengan tingkah polah tante Ani. Ternyata memang benar adanya,
telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru
kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan
memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7
lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah
laper nih.” katatante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang
tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo
bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah
enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan
di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen
jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit
lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper
banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku bangun
dari sofa. Kulihat tante Ani sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak
gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap tinggi
banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Ani, begitulah
aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati. Setelah mencuci muka, ganti
pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan
keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena
aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk
berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante
dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir
Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Ani membawa
sedan Honda, bukan
Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga
mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama
papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini
dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-jalan
kota Jakarta.
Tante Ani seperti bebek saja,
ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang
mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan
tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi
bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Ani tidak protes dengan pilihan
saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke
tempat main bowling. Abis main bowling tante Ani mengajakku mampir ke rumahnya.
Tante Ani tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan
untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Ani
sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari
tante Ani, yang tante Ani tidak pernah merasa kekurangan materi. Apartemen
tante Ani lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada
siapa- siapa yang tinggal di sana selain tante Ani. Jadi aku bisa maklum
apabila tante Ani sering keluar rumah.
Pasti jenuh apabila tinggal
sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri Bernas.
Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang
ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur
kamu.”
cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun.
Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi
jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani
menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya.
Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding.
Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis
Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang
murahan.
“Itu tante beli dari seniman
lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan suasana hening
sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget.
Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak
pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal.
Kalo tante tidak cocok dengan
harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.” Aku masih menyibukkan diri
mengamati lukisan-
lukisan yang ada, dan tante Ani
tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Ani ternyata
memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau
pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu
yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di
sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya
sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan
keadaan tante Ani yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan
untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Ani sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante
Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku
penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO
yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget
sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya lagi
untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan
hidangan bersama
minuman. Tante Ani membawa kacang
mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es
batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main
santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan
baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1
sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan mukaku
panas. Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa
aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas
Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas pulang yah.
Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar
ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.
Aku merasa tante Ani berusaha
mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk
hidung-nya, apa yang tante Ani minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat
tingkahku yang suka menurut, tante Ani mulai terlihat lebih berani lagi. Dia
mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya
berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi
lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus
menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Ani ralat menjadi ‘Truth
& Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Ani
sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia
kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’
punishment, lama-lama aku menjadi semakin berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia
lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa
mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es
batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante
Ani menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat
lurus-lurus saja menurutnya. Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the
‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi
tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku
bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai
pertanyaan yang
menjurus ke seks seperti misalnya
kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan.
Semuanya tanpa ragu-ragu tante
Ani jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan. Kini
permainan kami semakin wild dan berani. Tante Ani mengusulkan untuk
mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin
bergairah dan menyetujui saja usul tante Ani.
“Yee, tante menang lagi. Ayo
lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Ani dengan senyum
kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti
giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil
melepas kaus kakiku.
Selang beberapa lama … “Nahhh,
kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Ani kelihatan
gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku
kenakan.
“Ha ha ha … two pairs, punya
tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku
sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas
anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya. Aku
makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Ani bugil
juga. Aku pengen sekali menang terus.
“Full house … yeahhh … kalah lagi
tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit
rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas
semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut
tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Aku rada gondok mendengar
pembelaan tante Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.
“Straight … Bernas … One Pair …
Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Ani girang. Aku pun
segera melepas jaket
aku yang kenakan. Untung aku
selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku
dalam hati.
“Bernas Three kind … tante … one
pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan
tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah,
karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih
tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Bernas junior dengan
serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.
“Hey, lihat kartu dong. Jangan
liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil
tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante
menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Ani girang banget bisa dia menang. Kali
ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan
kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani
sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang
ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke
dapur dengan
keadaan dada setengah terlanjang.
Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan
sebotol
V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini.
Minum sepuas- puasnya.” ucap tante Ani. Kami saling ber-tos ria dan kemudian
melanjutkan kembali permainan strip poker kami.
“Yesss … ” seruku dengan
girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas
rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat mengenakan BH dan
celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut
berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar
selangkangannya. Aku
sempat berpikir apakah tante Ani
mencukur semua bulu-bulu pubisnya.
Muka tante Ani sedikit memerah.
Kulihat tante Ani sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia
berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku
hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa
melihat tubuh terlanjang tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum
kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Ani kemudian memandangkan
wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Bernas
tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante
Ani melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante
Ani, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit
bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat
payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Ani sungguh
indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat susu
tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Ani.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek
yah? Ketahuan nih.
Dasar genit kamu.” tambah tante
Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak
berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan
selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu.
Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku
ingin sekali melihat
bentuknya dan kalo bisa memegang
atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main,
kali ini aku yang kalah, dan tante Ani meminta aku melepas celana yang aku
kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja.
Tante Ani hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja
menolak tawaran tante Ani untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing
lagi. Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan
kali ini ada finalnya.
Babak penentuan apakah tante Ani
akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu
malaikat keberuntungan
berpihak kepadaku. Ternyata
harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante
Ani. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani.
Sewaktu aku akan melepas celana
dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Animencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau
celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat
habis kayak begini”
kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi,
tante Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih
menantang daripadayang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm …
cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau?
Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas
belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante
dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai
mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani. Tante Ani kemudian memejamkan matanya.
Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Ani. Tante Ani diam
sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku
perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante
Ani. Bau wine merah sempat tercium di hidungku. Aku pun tidak mau kalah, aku
berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Ani.
Maklum ini baru pertama, jadi aku
terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang
beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Ani. Tante Ani dengan
serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa
jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante
Ani, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan
terkadang puladi dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir dan
lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku
panas dibuatnya. Tante Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante
Ani pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita
sambung lagi pokernya” ajak tante Ani. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan
pikiranku masih terbayang saat kita berciuman.
Aku ingin sekali lagi mencium
bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali
lagi berciuman dengannya.
Tante Ani menurut saja dengan
permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar
2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus
dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante.
Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik,
kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat tante Ani ini masih
menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku
sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani
malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi
sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Ani sengaja untuk
mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini.
Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku
sangat memanfaatkan situasi yang
sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan
minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen
emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani tidak
tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah
tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku
penasaran.
Tante Ani hanya mengangguk
pertanda setuju. Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante
Ani. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku.
Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Ani dengan lembut. Kedua
telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Ani,
memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Ani.
AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya.
Kuluman yang tante Ani dapatkan
dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Ani.
Dia tampak menikmati setiap
hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Ani
perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku
bisa memastikan bahwa tante Ani saat ini sedang terangsang atau istilah
modern-nya
‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal banget
sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada terputus-putus.
Aku tidak mengubris kata-kata tante Ani, tapi malah semakin bersemangat
memainkan kedua puting susunya. Tante Ani tidak memberikan perlawanan
sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk
melakukan hal-hal yang tidak
senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh tante
Ani perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet.
Ternyata tante Ani tidak
menahan/menolak, bahkan tante Ani hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring
di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante
Ani. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi
betul leher tante Ani. Tante Ani
memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat
lembut kedua telinganya,
memberikan sensasi dan getaran
yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku
seakan-akan tau apa
yang harus aku lakukan, padahal
ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi
suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan kembali
bibirku di atas bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman mesra sambil
berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Ani.
Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala
belakang tante Ani, sedangkan tangan kananku meremas- remas payudara kiri tante
Ani.
Tubuh tante Ani seperti cacing
kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman
denganku. Tanpa
diberi komando, tante Ani
tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak
tante Ani memberikan instinct
bawah sadar kepadanya untuk
segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan
tante Ani saat itu, namun tante Ani tiba-tiba menarik tangan kananku untuk
mendarat di kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget.
Ternyata kemaluan/ memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut
tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan
daging mungil yang menonjol di memeknya.
Para pembaca pasti tau nama
daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu
dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante
Ani berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante
Ani mulai basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah … aaahhhh …
kok berani ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan
Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh
Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka
kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …”
suara tante Ani mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil tante
Ani, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Ani
menjerit kencang
seakaan-akan terjadi gempa bumi
saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung
saja tante Ani
bukan tipe wanita yang suka
merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg uhhh
oohhh …” erang tante Ani. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa
arti kata ‘datang’ waktu itu.
Yang pasti setelah mengatakan
kalimat itu, tubuh tante Ani lemas dan nafasnya terengah-engah. Dengan tanpa di
beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa
sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Ani, tapi
sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu- raguanku ini
terbaca oleh tante Ani. Dengan lembutnya tante Ani berkata,
“Bernas, kalo pengen tidurin
tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol
Bernas
dah tegak kayak besi. Sini tante
pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi
diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang
penisku ke mulut vagina tante Ani, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan.
Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Ani. Selain mungkin
karena basahnya dinding-dinding memek tante Ani yang memuluskan jalan masuk
penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di
dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …”
desah tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok memek
tante Ani dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat
semakin ‘horny’,
dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh
Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani. Di saat aku sedang
asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante
Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar
belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin
beberapa saat lagi …
” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah,
jangan di dalam.
Tante mungkin lagi subur
sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya
stock pengaman sekarang. Jadi
jangan dikeluarin di dalam yah.”
pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam …
goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi,
aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Ani
semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di
sekitar bulu jembutku. Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan
telingaku panas. Tante Ani pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin
terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu
dengan tante Ani 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang
bakalan keluar dari penisku
semakin mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn Bernasss …
kontolnyakok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi… tante geliii banget
nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai
ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.
Puting tante Ani semakin terlihat
mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan
wajahku ke wajah
tante Ani, dan bibir kami saling
berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling
berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku
tetap di atas tubuh tante Ani.
Aku percepat kocokan penisku di
dalam memek tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan
saja.
“Bernasss … tante datangggg …
uhhh …ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda
tante Ani telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar panas
dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar.
Aku masih ingat pesan tante Ani
agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Ani.
“Tante … Bernassss datangggg …”
jeritku panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan penisku
memuncratkan spermanya di perut tante Ani. Saking kencangnya, semburan spermaku
sampai di dada dan leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara
jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi
spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku
tidak sempat
mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah tumpah
keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Ani. Kepalaku masih
teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit- langit
apartment tante Ani. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.
Tante Ani kemudian memelukku
manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh
hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya tante
Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi
Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?”
canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku
percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku
penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri
aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya.
Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas
Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya
dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela
tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Bernas sering-sering datang ke
rumah tante aja.
Nanti kita main poker lagi. Mau
kan?” pinta tante Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak
girang.
Malam itu aku nginap di rumah
tante Ani. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta
jatah 1 kali lagi
dengan tante Ani, namum ajakanku
ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya. Sejak
saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Ani tanpa sepengetahuan orang lain
terutama ayah dan ibu. Tante Ani senang bercinta yang bervariasi dan dengan
lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di
motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku
(ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai
di sana). Tante Ani sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Ani seks
dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang
teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah
menceritakan kepadaku tentang
rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah
jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Ani paling suka ‘bermain’
tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi
karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di
saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa
menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara
dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat
subur dan aku/tante Ani lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain
tanpa kondom dengan
berejakulasi di luar (meskipun
ini rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat berjalan
hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Ani.
Maklum aku masih
tergolong remaja/pemuda yang
gampang terbawa emosi. Namun tante Ani menolaknya dengan halus karena apabila
hubunganku dan tante Ani bertambah serius, banyak pihak luar yang akan
mencaci-maki atau mengutuk kami.
Tante Ani sempat menjauhkan diri
setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya.
Aku lumayan patah
hati waktu itu (hampir 1.5
tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit
hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat ini aku masih berhubungan
baik dengan tante Ani. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2
minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami
masing-masing. Tante Ani sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini
juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak
putus dengan pacarku, tante Ani sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian
seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Ani, namun tante Ani seperti
mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang
pelarian.
Jadi tante Ani tidak pernah
merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin
membantu meringkankan beban
perasaan temannya.
ArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
BalasHapusHalo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)
Game Terbaru : Perang Baccarat !!!
Promo :
- Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
- Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino
Situs Login : arenakartu.org
Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
Min. DEPO & WD Rp 20.000,-
INFO PENTING !!!
Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.